Friday, September 23, 2016

Hati-hati !! Saat Memanggil Pasangan dengan 'Ayah Bunda ' Termasuk Talak?? Berikut jawaban menurut islam


Pasangan suami istri di Indonesia yang telah dikaruniai anak pada umumnya Tak lagi memanggil pasangannya dengan nama masing-masing. Suami akan memanggil istrinya dengan mamah, ibu, umi, atau bunda. Begitu pun sebaliknya, istri akan memanggil suaminya denganpapah, ayah, abi, atau bapak. Tujuannya Tak lain untuk mendidik anak sejak dini agar memanggil orangtuanya dengan panggilan sopan seperti di atas, bukan memanggil orangtua dengan namanya saja.

Bila terjadi demikian, tentu anak yang memanggil orangtuanya dengan nama sangat Tak sopan, Tak sesuai dengan konteks budaya Indonesia. Bukankah panggilan suami pada istri dengan panggilan mamah, ibu, umi, bunda itu sama dengan talak zhihar? Tentu jawabannya adalah Tak. Saya akan mengetengahkan tiga penjelasan untuk menjawab pertanyaan tersebut.
Pertama, kasus zhihar terjadi sejak masa Jahiliyah. Orang Jahiliyah ketika marah pada istrinya selalu mengucapkan anti ‘alayya ka zhari ummi, bagiku, dirimu itu sama seperti punggung ibuku. Pada waktu itu, perkataan ini ditujukan untuk memposisikan istri sama seperti ibu kandung. Artinya, ketika seorang lelaki mengatakan perkataan di atas Tak lagi boleh menggauli istrinya untuk selama-lamanya.
Hal ini sebagaimana seorang anak dilarang menggauli ibu kandungnya sendiri. Selain itu, suami juga Tak lagi bertanggung jawab menafkahi istri dan anak-anaknya. Tradisi buruk yang merugikan perempuan ini juga terjadi pada masa Nabi yang kemudian menyebabkan turunya surah al-Mujadalah ayat pertama.
Waktu itu istri sahabat Aus bin Shamit, Khaulah, mengadu pada Rasul atas perbuatan suaminya yang semena-mena men-zhihar-nya, sementara Khaulah memiliki anak banyak, dan dia juga masih cinta pada suaminya. Bila tradisi zhihar yang berlaku pada masa Jahiliyah masih berlaku pada masa Islam tentu hal tersebut merugikan banyak sekali perempuan. Konon, Aus bin Shamit marah sampai men-zhihar istrinya gara-gara Tak mau diajak berhubungan badan. Padahal waktu itu Khaulah baru selesai dari salat.
Kedua, kata zhihar masih satu akar kata dengan kata zhar (punggung). Pada waktu itu, punggung perempuan merupakan simbol akan keindahan tubuh perempuan yang membuat libido lelaki memuncak. Seperti disebutkan di atas, bahwa tujuan penyamaan diri istri dengan punggung ibu itu sama saja dengan mengharamkan dirinya sendiri untuk berhubungan badan dengan istrinya itu, karena ibu pada masa Jahiliyah pun Tak boleh dinikah apalagi berhubungan badan dengannya. Apakah konteks ini berlaku di Indonesia? Saya kira Tak ada.
Ketiga, tradisi zhihar pada masa Jahiliyah seperti yang disebutkan di atas sudah tergerus dengan sendirinya semenjak surah al-Mujadalah itu turun untuk merespon curhat Khaulah kepada Nabi saat suaminya men-zhihar dirinya. Sejak saat itu, suami yang melakukan zhihar pada istrinya hanya diwajibkan membayar kafarat. Namun men-zhihar istri itu termasuk dosa besar. Sementara itu, pembayaran kafarat dapat dilakukan sesuai kemampuan suami, bisa membebaskan budak mukmin perempuan, puasa dua bulan berturut-turut, memberi makan kepada enam puluh fakir miskin.
Saya kira tradisi talak zhihar ini Tak berlaku di Indonesia, karena Tak dikenal dalam kebudayaan Indonesia. Bahkan Ibnu Asyur menyebutkan bahwa tradisi zhihar itu hanya dikenal oleh masyarakat Madinah (Yatsrib) saja, Tak dikenal di Mekah
sumber : infogunamasakini

0 comments

Post a Comment