Friday, October 7, 2016

Ibu yang Mengidap Gangguan Psikoligi Tetap Bisa Punya Anak, Asalkan …


Menurut data dari World Health Organisation (WHO) dilansir dari theasianparent, ada 450 miliar orang di dunia yang menderita karena gangguan mental. Maka secara statistik, ada minimal satu dari empat orang yang menderita gangguan mental.

Sekalipun ada berbagai cara untuk mengobatinya lewat medikasi dan terapi, persoalan ini masih jadi masalah yang disalahpahami. Biasanya, orang enggan memeriksakan kesehatan mentalnya karena banyak stigma negatif seputar itu.

Bahkan, banyak penderita gangguan kesehatan mental tidak tahu tentang masalah yang dialaminya. Hal ini dikarenakan minimnya pengetahuan dan akses tentang hal tersebut.

Biasanya, kita lebih peduli pada kesehatan fisik, dengan rutin melakukan medical check up. Padahal, mengecek kesehatan mental secara berkala juga tak kalah pentingnya lho.

Gangguan mental pada ibu tidak berarti ia tidak bisa mengasuh anak

BACA JUGA : Komik Islami Penuh Makna Tentang Cara Mendidik Anak

Masyarakat Indonesia sendiri belum terlalu mengenal jenis-jenis gangguan mental yang ada di sekitar kita. Ketidaktahuan itu membuat kita semakin jauh untuk memahami bahwa Ibu yang memiliki gangguan mental pun sebenarnya masih bisa jadi ibu yang baik.

Ada banyak jenis gangguan mental, Diantaranya adalah Depresi, Gangguan Bipolar, Gangguan kecemasan (anxiety), ADHD (Attention Deficit Hiperactivy Disorder), PTSD (Post Trauma Stress Disorder atau Gangguan Stres Paska Trauma), maupun OCD (Obsessive Compulsive Disorder atau Gangguan Obsesi yang Berlebih).

Para ibu  yang  ternyata didiagnosa mempunyai gangguan mental, sebaiknya jangan patah semangat. Segalanya bisa dijalani dengan baik-baik saja, apalagi jika Bunda mau menjalani terapi dan medikasi dari psikolog maupun psikiater.

Sarah Fader adalah contoh yang baik dalam hal ini. Ia adalah seorang ibu tunggal dengan dua anak. Selama ini, ia hidup dengan gangguan mental seperti depresi, gangguan kecemasan, PTSD dan ADHD.

Menurutnya, memberi penjelasan mengenai kondisinya pada anak-anak adalah cara terbaik. Jika orangtua bisa membicarakan penyakit diabetes, darah tinggi, maag, maupun penyakit fisik lain, tidak ada salahnya jika orangtua mulai terbuka membicarakan penyakit mental yang dideritanya.

Hal ini juga dapat membantu generasi selanjutnya memahami gangguan kesehatan mental yang selama ini dianggap tabu. Jika kita tidak berusaha mengubahnya dari sekarang, keadaan tidak akan berubah juga di masa depan.

Fader menyarankan, saat episode gangguan mental tersebut datang, katakan pada anak, “Nak, Bunda sedang sedih hari ini. Kesedihan Bunda bukan karena kamu. Bunda sangat mencintaimu.”

Mengatakan hal seperti itu pada anak lebih baik daripada anak tidak mengetahui apapun mengenai perubahan mood, raut wajah, maupun sikap ibunya yang sedang melankolis.

Tegaskan bahwa dalam kondisi apapun, Bunda tetap sangat mencintai mereka. Gunakan masa-masa tersebut untuk mengasah empati anak.

Ibu yang memiliki riwayat gangguan kesehatan mental akan mengalami hari-hari yang sedih dan kebingungan tanpa tahu pasti apa peristiwa pemicunya. Ini adalah hal yang wajar.

Kinerja otak dan hormon ibu dengan gangguan mental yang berbeda dengan orang dengan mental sehat, adalah hal yang sering jadi pemicu datangnya rasa sedih yang tiba-tiba.

Pada gangguan kesehatan mental seperti PTSD, bunda bisa mengenali rasa sedih atas trauma masa lalu yang menimpa bunda. Jika masa itu terjadi, katakan pada anak bahwa bunda sedang ingin istirahat,

Menurut laman Healthy Place, membuka pembahasan tentang gangguan mental adalah cara yang baik untuk memahami keadaan yang sebenarnya. Hal itu juga bisa membantu anak agar tidak ragu untuk meminta pertolongan orang terdekatnya saat ia mengalami gangguan mental kelak.

Semakin kita terus bersikap bahwa gangguan kesehatan mental adalah hal yang mengerikan, maka akan makin banyak penyakit mental yang tak tertangani. Keterbukaan soal gangguan mental bisa memberi solusi kepada penderita dan orang sekitarnya.

0 comments

Post a Comment