"Loh, istrinya ke mana aja? Kok suami disuruh jaga anak?" Tulis sebuah komentar di foto profil gw yg gambar kartun ngayun anak itu.
"Pengangguran ya mas? Kasian banget jaga anak", kata komentar yg lain.
"Istrinya gak bener nih. Kalo bini gw kayak gini, gw udah bla-bla-bla..." Dan masih banyak lagi komentar miring lainnya.
Lucunya, komen-komen seperti ini selalu saja ada. Nyelip di gambar, foto, atau bahkan status joke sekalipun.
Btw, sebelumnya gw akui gw memang paling jarang balas komentar. Kalo sempat gw like aja. Ini karena keterbatasan waktu online. Setelah posting, biasanya gw langsung off. Mau dibilang hit and run, ya bolehlah.
Tapi jangan kira gw gak care. Setiap komentar masuk, gak ada yg luput gw baca walau sering telat.
Nah, komen-komen seperti yg tadi itu biasanya kepikiran juga. Kebetulan gw orangnya rada baper sih. Wkwk..
Tapi sebaiknya memang setiap komen harus siap diterima sebagai resiko. Namanya juga media sosial. Ada banyak cara orang membongkar isi rumahmu dan seolah mengetahui setiap sudutnya, tanpa pernah sekalipun masuk atau sekadar menginjak pekarangan.
Okeh.. Demikian opening sok asik, sekarang kita kembali ke soal jaga anak.
Masih banyak yg beranggapan aktivitas jaga anak ini sebagai domain perempuan. Laki-laki sebaiknya bekerja cari nafkah saja, tabu kalo disuruh jaga anak. Padahal ini menurut gw keliru.
Sekarang gak jaman lagi superioritas suami dalam rumah tangga. Gak perlu lagi pake mentang-mentang. Rumah tangga yg dibangun di atas tiang agama, niscaya akan paham posisi masing-masing.
Lagian, tanpa dispesialkan pun pada dasarnya kita kaum suami sudah spesial kok. Ibarat martabak, yg telornya dua itu pasti spesial. Eeh sorry, gak nemu perumpamaan yg lebih beradab. Wkwk..
Katakanlah gw sampel subyektifnya. Selama gw dan istri bisa kerjasama bagi waktu sistem shift, kenapa nggak? Jadi baby sitter part time gak akan membuat derajat jatuh, yakin deh, gak perlu diukur pake termometer derajat celcius.
Kebetulan kami didukung situasi. Gw kerjanya malam, istri kerja pagi sampai siang.
Kenapa istri harus bekerja?
Ya, karena suami gak pernah tau bedanya lipstik 50k, dan... Plakkk!! Cukup.. Cukup.. Itu udah basi woy!
Pekerjaan istri gw sebenarnya jauh lebih mulia. Saat gw di rumah bertanggung jawab terhadap keselamatan dua orang anak, di saat yg sama istri gw bertanggung jawab terhadap keselamatan puluhan bahkan seratusan anak-anak.
Istri gw juru imunisasi di Puskesmas. Tiap hari nyuntik anak di posyandu-posyandu. Pernah sekali waktu gw coba iseng temenin, dan sehari saja gw nyerah. Menghadapi anak orang ternyata butuh kesabaran level expert. Anak sendiri kalo dipelototin diem. Anak orang dipelototin eeh malah nangis kejer, bikin panik.
Belum lagi lokasi posyandu yg berbeda-beda. Ada yg medannya berat dan gak bisa dijangkau kendaraan. Istri gw sudah terbiasa mendaki gunung, lewati lembah. Sungai mengalir indah ke samudera, bersama teman bertualang.
Menjaga anak ada seninya. Belum sampe maqom seorang laki-laki sebelum merasakan dipipisin atau diberakin.
Coba sebutkan tantangan terekstrim yg menguji keberanian dan adrenalin seorang laki-laki. Selfie di ketinggian? Diving di kedalaman lautan? Biasa itu mah..
Nah, coba berani gak nyebokin anak dengan feses mencret atau menghisap ingusnya yg tersumbat pake mulut? Kalo berani, baru gw jempol.
Anak adalah tanggung jawab sekaligus konsekuensi perkawinan. Jangan nikah hanya mau enaknya gak mau anaknya.
Menjaga anak mengajarkan kita kesabaran, dan dengan sendirinya akan memahami pola kebiasaan. Istimewanya, kita bisa mengontrol sendiri perkembangan anak, dan melatih insting serta kewaspadaan. Kewaspadaan ini yg paling penting, mengingat bahaya mengancam jiwa anak setiap saat.
Baru saja membaca sebuah berita, seorang bayi usia empat bulan di Medan mendadak buta setelah difoto. Mata si bayi tampaknya belum kuat menerima kilatan flash. Ini peringatan bagi yg doyan foto selfie bareng bayi.
Di makassar lain lagi. Ada bayi baru lahir yg mendadak meninggal dunia setelah kaget mendengar suara petasan.
Ada juga berita di tivi, balita meninggal usai ngemut rambutan dan nyangkut di kerongkongan.
Sebelumnya, gw juga pernah baca, bayi tewas dengan lidah melepuh setelah menggigit-gigit ujung charger yg masih menempel di colokan rumahnya. Ujung charger yg lunak dan gampang dirusakkan ternyata masih menghantar aliran listrik. Ini yg paling banyak disepelekan di rumah tangga. Tetangga gw malah ada yg anaknya meninggal dunia dengan wajah tertimpa besi kaitan ayunan setelah tali ayunannya terlepas karena gak diikat kuat.
Hampir setiap hari, kita disuguhi pemberitaan anak-anak celaka atau tewas dengan cara yg gak lazim. Ujung-ujungnya kelalaian pengasuh yg jadi penyebabnya.
Nah, ini juga yg bikin gw kuatir kalo misalnya anak gw harus dijaga oleh orang lain. Walaupun maut mengintai gak pandang bulu, setidaknya insting orang tua terhadap darah daging jelas beda dengan orang lain yg menjaganya.
Di sekitar tempat tinggal gw sebenarnya banyak tempat atau panti penitipan anak. Bukannya gak percaya atau gak ada anggarannya, tapi rasanya gak rela aja membagi waktu dengan orang lain selama masih bisa menjalaninya.
Di kota-kota besar, orang-orang sepakat menciptakan istilah quality time pada akhir pekan, menjadikannya spesial, kadang mengisi dengan rekreasi, demi menutupi quantity time yg gak bisa mereka berikan pada anak. Nah, ketika kita diberi kesempatan untuk menjadikan setiap hari menjadi quality time, ngapain disia-siakan?
Gw kadang merinding membayangkan kalo misalnya anak gw titipkan di panti anak dengan alasan kesibukan, gak ada jaminan kelak di kemudian hari polanya akan berulang, gantian gw yg dititipkan juga di panti jompo dengan alasan anak-anak sibuk. Hiiiy.. Amit-amit.
Sebenarnya gak ada yg salah dengan panti penitipan anak. Toh ini juga banyak membantu. Tapi selama gak ada udzur atau alasan yg membenarkan ya sebaiknya dihandle sendiri, mengingat masa kecil anak gak terulang dua kali. Materi bisa dicari, tapi kesempatan yg hilang niscaya disesali kemudian hari. Hoanjrit.. Sok bijak banget ini orang. Wkwk..
Logikanya, anak adalah titipan Tuhan. Kalo titipan itu dititipkan lagi, haiyya...
"Pengangguran ya mas? Kasian banget jaga anak", kata komentar yg lain.
"Istrinya gak bener nih. Kalo bini gw kayak gini, gw udah bla-bla-bla..." Dan masih banyak lagi komentar miring lainnya.
Lucunya, komen-komen seperti ini selalu saja ada. Nyelip di gambar, foto, atau bahkan status joke sekalipun.
Btw, sebelumnya gw akui gw memang paling jarang balas komentar. Kalo sempat gw like aja. Ini karena keterbatasan waktu online. Setelah posting, biasanya gw langsung off. Mau dibilang hit and run, ya bolehlah.
Tapi jangan kira gw gak care. Setiap komentar masuk, gak ada yg luput gw baca walau sering telat.
Nah, komen-komen seperti yg tadi itu biasanya kepikiran juga. Kebetulan gw orangnya rada baper sih. Wkwk..
Tapi sebaiknya memang setiap komen harus siap diterima sebagai resiko. Namanya juga media sosial. Ada banyak cara orang membongkar isi rumahmu dan seolah mengetahui setiap sudutnya, tanpa pernah sekalipun masuk atau sekadar menginjak pekarangan.
Okeh.. Demikian opening sok asik, sekarang kita kembali ke soal jaga anak.
Masih banyak yg beranggapan aktivitas jaga anak ini sebagai domain perempuan. Laki-laki sebaiknya bekerja cari nafkah saja, tabu kalo disuruh jaga anak. Padahal ini menurut gw keliru.
Sekarang gak jaman lagi superioritas suami dalam rumah tangga. Gak perlu lagi pake mentang-mentang. Rumah tangga yg dibangun di atas tiang agama, niscaya akan paham posisi masing-masing.
Lagian, tanpa dispesialkan pun pada dasarnya kita kaum suami sudah spesial kok. Ibarat martabak, yg telornya dua itu pasti spesial. Eeh sorry, gak nemu perumpamaan yg lebih beradab. Wkwk..
Katakanlah gw sampel subyektifnya. Selama gw dan istri bisa kerjasama bagi waktu sistem shift, kenapa nggak? Jadi baby sitter part time gak akan membuat derajat jatuh, yakin deh, gak perlu diukur pake termometer derajat celcius.
Kebetulan kami didukung situasi. Gw kerjanya malam, istri kerja pagi sampai siang.
Kenapa istri harus bekerja?
Ya, karena suami gak pernah tau bedanya lipstik 50k, dan... Plakkk!! Cukup.. Cukup.. Itu udah basi woy!
Pekerjaan istri gw sebenarnya jauh lebih mulia. Saat gw di rumah bertanggung jawab terhadap keselamatan dua orang anak, di saat yg sama istri gw bertanggung jawab terhadap keselamatan puluhan bahkan seratusan anak-anak.
Istri gw juru imunisasi di Puskesmas. Tiap hari nyuntik anak di posyandu-posyandu. Pernah sekali waktu gw coba iseng temenin, dan sehari saja gw nyerah. Menghadapi anak orang ternyata butuh kesabaran level expert. Anak sendiri kalo dipelototin diem. Anak orang dipelototin eeh malah nangis kejer, bikin panik.
Belum lagi lokasi posyandu yg berbeda-beda. Ada yg medannya berat dan gak bisa dijangkau kendaraan. Istri gw sudah terbiasa mendaki gunung, lewati lembah. Sungai mengalir indah ke samudera, bersama teman bertualang.
Menjaga anak ada seninya. Belum sampe maqom seorang laki-laki sebelum merasakan dipipisin atau diberakin.
Coba sebutkan tantangan terekstrim yg menguji keberanian dan adrenalin seorang laki-laki. Selfie di ketinggian? Diving di kedalaman lautan? Biasa itu mah..
Nah, coba berani gak nyebokin anak dengan feses mencret atau menghisap ingusnya yg tersumbat pake mulut? Kalo berani, baru gw jempol.
Anak adalah tanggung jawab sekaligus konsekuensi perkawinan. Jangan nikah hanya mau enaknya gak mau anaknya.
Menjaga anak mengajarkan kita kesabaran, dan dengan sendirinya akan memahami pola kebiasaan. Istimewanya, kita bisa mengontrol sendiri perkembangan anak, dan melatih insting serta kewaspadaan. Kewaspadaan ini yg paling penting, mengingat bahaya mengancam jiwa anak setiap saat.
Baru saja membaca sebuah berita, seorang bayi usia empat bulan di Medan mendadak buta setelah difoto. Mata si bayi tampaknya belum kuat menerima kilatan flash. Ini peringatan bagi yg doyan foto selfie bareng bayi.
Di makassar lain lagi. Ada bayi baru lahir yg mendadak meninggal dunia setelah kaget mendengar suara petasan.
Ada juga berita di tivi, balita meninggal usai ngemut rambutan dan nyangkut di kerongkongan.
Sebelumnya, gw juga pernah baca, bayi tewas dengan lidah melepuh setelah menggigit-gigit ujung charger yg masih menempel di colokan rumahnya. Ujung charger yg lunak dan gampang dirusakkan ternyata masih menghantar aliran listrik. Ini yg paling banyak disepelekan di rumah tangga. Tetangga gw malah ada yg anaknya meninggal dunia dengan wajah tertimpa besi kaitan ayunan setelah tali ayunannya terlepas karena gak diikat kuat.
Hampir setiap hari, kita disuguhi pemberitaan anak-anak celaka atau tewas dengan cara yg gak lazim. Ujung-ujungnya kelalaian pengasuh yg jadi penyebabnya.
Nah, ini juga yg bikin gw kuatir kalo misalnya anak gw harus dijaga oleh orang lain. Walaupun maut mengintai gak pandang bulu, setidaknya insting orang tua terhadap darah daging jelas beda dengan orang lain yg menjaganya.
Di sekitar tempat tinggal gw sebenarnya banyak tempat atau panti penitipan anak. Bukannya gak percaya atau gak ada anggarannya, tapi rasanya gak rela aja membagi waktu dengan orang lain selama masih bisa menjalaninya.
Di kota-kota besar, orang-orang sepakat menciptakan istilah quality time pada akhir pekan, menjadikannya spesial, kadang mengisi dengan rekreasi, demi menutupi quantity time yg gak bisa mereka berikan pada anak. Nah, ketika kita diberi kesempatan untuk menjadikan setiap hari menjadi quality time, ngapain disia-siakan?
Gw kadang merinding membayangkan kalo misalnya anak gw titipkan di panti anak dengan alasan kesibukan, gak ada jaminan kelak di kemudian hari polanya akan berulang, gantian gw yg dititipkan juga di panti jompo dengan alasan anak-anak sibuk. Hiiiy.. Amit-amit.
Sebenarnya gak ada yg salah dengan panti penitipan anak. Toh ini juga banyak membantu. Tapi selama gak ada udzur atau alasan yg membenarkan ya sebaiknya dihandle sendiri, mengingat masa kecil anak gak terulang dua kali. Materi bisa dicari, tapi kesempatan yg hilang niscaya disesali kemudian hari. Hoanjrit.. Sok bijak banget ini orang. Wkwk..
Logikanya, anak adalah titipan Tuhan. Kalo titipan itu dititipkan lagi, haiyya...
0 comments
Post a Comment